Negara Jepang memiliki sejumlah bencana, dimana bencana-bencana tersebut menjadi keseharian masyarakatnya. Banjir dan tanah longsor sebagai kelanjutan hujan deras menjadi bencana pembunuh utama di Jepang. Manajemen bencana di Jepang, seperti saat ini, dimulai dari beberapa rentetan bencana besar.
Pada tahun 1959 terjadi Topan Teluk Ise (Ise-Bay Typhoon) menjadi titik tolak manajemen bencana di Jepang. Menurut Dr Haruo Hayashi, 2003, sistem manajemen bencana di Jepang didesain untuk mereduksi kerusakan oleh banjir dan longsor. Sistem tersebut telah sukses dalam mengurangi tingkat kematian akibat bencana. Setidaknya tercermin dalam penurunan tingkat kematian akibat bencana di Jepang sejak tahun 1945 hingga 2000.(Sumber: Koji Suzuki, 2007)
Selama masa tersebut hanya terjadi 17 kali kejadian gempa. Tujuh gempa diantaranya membunuh lebih dari 100 orang. Tsunami menjadi bencana ikutan terjadi dalam tiga kejadian gempa besar yaitu tahun 1960, 1984 dan 1993. Dengan demikian tsunami menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam manajemen bencana gempa di Jepang.
Manajemen bencana gempa dan tsunami itu yang tidak dipersiapkan hingga saat gempa 1995 di Kota Kobe. Bencana Kobe telah menjadi titik tolak penanganan bencana di Jepang. Gempa yang menewaskan lebih dari 6.481 orang membawa kesadaran akan building codes.
Gempabumi ini menciptakan satu tantangan besar untuk masyarakat bencana di Jepang. Jika dibandingkan dengan gempa bumi terbesar di Amerika Serikat (Northridge) dapat dilihat dalam tabel berikut:
Perbandingan Bencana Northridge US dan Kobe
Indikator | Northridge, Amerika | Kobe, Jepang |
Korban jiwa | 57 | 6481 |
Kehilangan tempat tinggal | 20.000 | 400.000 |
Kerusakan rumah | 30.000 | 200.000 |
Kerugian properti | US$ 42 Milyar | US$ 150+ Milyar |
Kerugian barang terasuransi | 1 US$ 4 Milyar | US$ 10 Milyar |
Hayashi, 2003, Koji Suzuki, 2007
Penggunaan aturan bangunan di Jepang telah diterapkan diperbarui, diantaranya pada tahun 1971 dan 1981. Pada sentral bisnis di Kota Kobe setelah kejadian gempa besar (1995), bangunan yang menggunakan aturan bangunan terbaru terbukti dapat bertahan.
Pemulihan akibat gempa bumi Kobe memakan waktu yang cukup lama (long-term recovery), bahkan tersulit bagi isu manajemen bencana. Selama delapan tahun, masyarakat Kobe baik disektor publik maupun di sektor swasta masih merasa belum pulih benar (fully recovered). Jumlah pekerja yang terlibat cukup banyak. Dalam memfasilitasi masa pemulihan yang panjang tersebut, pemerintah Jepang mengalokasikan dana US$ 80 Milyar pada tahun pertama. Dana ini dipergunakan untuk pemulihan infrastruktur dan fasilitatas umum. (Hayashi, 2003)
Tingkat kerusakan infrastruktur dan fasilitas pubnlik kurang lebih 35% dari total kerusakan yang ada. Selebihnya adalah rumah pribadi yang mencapai 60%. Dengan demikian maka sangat tidak memungkinkan dana pemerintah Jepang untuk membiayai seluruh proses pemulihan tersebut. Langkah yang diambil adalah menumbuhkan dan menggerakkan sektor swasta untuk pemulihan.
Infrastruktur terpulihkan dalam waktu dua tahun. Waktu tersebut dinilai relatif singkat mengingat kerusakan yang ada. Fokus berikutnya adalah sektor perumahan umum. Dalam lima tahun, lebih dari 140.000 unit rumah tinggal selesai dibangun. Jumlah tersebut terbagi atas berbagai variasi: pemerintah dan sektor swasta. Swasta membuat apartemen kemudian disewakan dalam berbagai level klas ekonomi. Terdapat 11 proyek makro dengan skala besar, dan pada tahun 2003 belum semua terselesaikan. Sebagian proyek masih berjalan direncanakan pada akhir 2003 terselesaikan semua proses rekonsruksi.
Hal yang cukup kontras terjadi pada sektor ekonomi masih berlangsung hingga tahun 2003. Hal ini dimungkinkan karena kurang jelasnya visi pemulihan di tingkat masyarakat sehingga proses pemulihan ekonomi tidak berjalan dengan sukses. Penyebab dasarnya adalah masyarakat tidak dipersiapkan dengan baik dalam perencanaan pemulihan akibat bencana (recovery plan).
Pada kenyataanya, perencanaan pemulihan akibat bencana dalam kerangka besar selalu setara (equivalent) dengan proses pemulihan fisik. Sebelum gempa Kobe, tidak pernah ada recovery plan dimana menempatkan sektor ekonomi sebagai titik akhirnya (goals).
Ekonomi makro sangat berpengaruh terhadap proses pemulihan.
Berikut ini merupakan gambar-gambar infrastruktur yang rusak akibat Gempa bumi di Jepang pada jumat siang tanggal 11/03/2011 yang disertai tsunami. Sedikitnya 384 orang tewas akibat gempa bumi berkekuatan 8,9 SR.
Klik disini untuk melihat foto satelit sebelum tsunami dan sesudah tsunami jepang 2011
Mari mengambil pelajaran dari bencana ini..,
سَنُرِيهِمْ ءَايَاتِنَا فِي الآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ ﴿٥۳﴾ [فصلت: ٥۳
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" [QS Fushshilat: 53]
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿الروم : ٤١
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). [Ar Ruum : 41]
Artikel by ajiekdarminto.wordpress.com
tambahan dari argajogja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar